Gangguan Genetik Sindrom Down

Sindrom Down adalah sebuah gangguan genetik yang disebabkan oleh trisomi kromosom 21. Gangguan ini adalah gangguan kromosom tersering yang dijumpai dalam kelahiran hidup, yaitu 1 dari 800 kelahiran hidup. Pada 95% kasus, sindrom Down disebabkan oleh nondisjungsi kromosom ibu nomor 21 selama meiosis. Insidens sindrom Down yang berhubungan dengan nondisjungsi meningkat seiring dengan usia ibu. Sindrom Down terjadi pada 1 dari 1350 bayi yang lahir dari ibu berusia kurang dari 24 tahun, dan 1 dari 65 bayi yang lahir dari ibu berusia 41 sampai 45 tahun. Kurang dari 5% kasus sindrom Down yang dapat dilacak berasal dari kromosom ekstra ayah. Penyebab sindrom Down ketiga yang tidak lazim adalah translokasi total atau sebagian dari salah satu duplikat kromosom 21 normal menjadi kromosom yang berbeda, biasanya menjadi kromosom 13, 14, 15, 18, atau 22, namun kromosom lain juga dapat menjadi target. Anak yang mengidap sindrom Down memiliki tingkat retardasi mental yang bervariasi, sering dapat diintervensi secara positif dengan program intervensi anak secara dini.


Gambaran Klinis
• Tingkat retardasi mental bervariasi.
• Mata Sipit ke arah atas, tangan pendek, hanya memiliki satu lipatan pada telapak tangan (simian crease), dan telinga letak rendah.
• Tubuh pendek.
• Lidah menonjol.


Perangkat Diagnostik
• Uji genetik pranatal (amniosentesis atau pengambilan sampel vilus korion) dapat mengidentifikasi janin pengidap sindrom Down.
• Pemeriksaan darah ibu dapat mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi mengidap sindrom Down. Dalam sebuah uji yang disebut uji quad, empat bahan maternal yang bersirkulasi ditubuh diukur se- lama trimester dua kehamilan. Setelah didapatkan hasilnya, kasus sindrom Down pada ibu adalah 75 % pada ibu berusia kurang dari 35 tahun dan 85%-90% pada ibu berusia 35 tahun atau lebih. Bahan maternal ini meliputi:

Estriol tak-terkonjugasi (uE3).
uE3 diproduksi oleh plasenta. Kadarnya menurun sekitar 25% dalam serum ibu yang kehamilannya disertai sindrom Down dibandingkan kehamilan tanpa sindrom Down.
• Alfafetoprotein (AFP). AFP adalah protein serum utama dari janin. AFP berpindah dari sirkulasi janin ke sirkulasi maternal. Kadar AFP menurun pada serum maternal ibu yang mengandung janin sindrom Down. Kadar AFP juga digunakan untuk mendeteksi defek tuba neural janin dan anensefali, dan kadar AFP meningkat pada kedua defek ini.
Human chorionic gonadotropin (hCG). hCG diproduksi selama ke-hamilan, awalnya oleh trofoblas dan kemudian oleh plasenta. Kadarnya dalam serum maternal lebih tinggi pada kehamilan dengan sindrom Down dibandingkan tanpa sindrom Down.

Inhibin A.
Inhibin A adalah suatu glikoprotein yang dibentuk selama kehamilan terutama oleh plasenta. Inhibin A meningkat pada ibu yang mengandung janin sindrom Down.
• Skrining ultrasound pranatal menunjukkan adanya tanda-tanda fisik janin sindrom Down, terutama kelainan dalam ketebalan nuchal (bagian belakang leher).
• Karyotyping genetik setelah lahir dapat memastikan diagnosis klinis sindrom Down.

Komplikasi
• Defek kongenital jantung atau organ lain sering terjadi berkaitan dengan sindrom Down.
• Risiko leukemia di masa kanak-kanak dapat meningkat pada anak pengidap sindrom Down. Hal ini berkaitan dengan pengamatan bahwa sebagian bentuk leukemia dapat berhubungan dengan defek pada kromosom 21. Pengidap sindrom Down juga biasanya menderita penyakit Alzheimer selama empat atau lima dekade kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan hasil pengamatan bahwa penyakit Alzheimer dapat muncul sebagian karena defek pada kromosom 21.
• Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan ‘antara masa kehamilan 10 dan 16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau ibu mengalami keguguran sebelum masa kehamilan 6 sampai 8 minggu.

Penatalaksanaan
• Mungkin diperlukan pembedahan apabila terdapat defek kongenital lain.
• Program intervensi dini dapat membatasi derajat retardasi mental.

Source: http://fkunhas.com/gangguan-genetik-sindrom-down-20110206979.html

0 komentar:

Posting Komentar